Hujan & Masa Depan
Waktu kecil, hujan adalah momen yang selalu kutunggu. Entah hanya menikmatinya dari balik jendela atau sempat berbasah-basah diantara jutaan tetesnya, hujan selalu menyenangkan dan menakjubkan.
Aku suka hujan. Eh,
tapi, mungkin bukan cuma aku. Kau pun pasti suka, kan? Waktu kecil, kita semua
suka hujan. Bukankah begitu?
Semakin dewasa,
perasaan kita tentang hujan kian berwarna. Ada yang semakin suka, ada juga yang
benci setengah mati. Apa lagi sebabnya, kalau bukan kejadian dan pengalaman di
masa lalu, yang kita sebut kenangan.
Orang bilang, hujan
turun bersama berjuta kenangan. Sebanyak bulir bening yang ditumpahkan langit,
sebanyak itu pula kenangan tumpah dari langit ingatan. Tak terhitung. Hujan mengantar
kita pada nostalgia rasa. Membuat semua rasa kembali buncah. Sebanyak jumlah
bulir yang menyapa bumi, sebanyak itulah rasa yang kembali menyapa hati.
Orang-orang mengartikan hujan seperti itu. Aku juga begitu. Tapi itu dulu,
sekarang tidak lagi.
Hujan adalah
keniscayaan, siklus alam yang dengannya kehidupan menjadi seimbang. Banyak
orang yang mensyukuri hujan. Tak sedikit pula yang mengumpatinya. Kata mereka,
hujan membuat hati dibanjiri berbagai rupa peristiwa. Aliran hujan setia
mengantar hati berlayar, menjenguk kenangan, yang menyenangkan, yang
menyakitkan.
Tapi bagiku, hujan
bukan lagi sebuah momen nostalgia rasa atau saat yang tepat untuk menjenguk
kenangan. Buat apa? Masa lalu adalah masa lalu, dan biarlah begitu.
Bagiku, hujan adalah
latar dalam rancang masa depan. Ku-eja setiap harapan setiap hujan tumpah, Yang
kuinginkan, kubayangkan, kulangitkan, seiring hempasnya berjuta tetes bening
dari atap semesta. Langit mencurahkan hujan, aku melangitkan bulir-bulir
harapan.
Hujan bagiku adalah
saat yang tepat untuk melangitkan segala pinta. Sebab hujan adalah salah satu
momen dikabulkannya do’a. Jadi, daripada tenggelam dalam banjir kenangan, lebih
baik melangitkan harapan, berharap Tuhan sudi menuntunku untuk menggapai
sebaik-baik masa depan.