Cerita Pendek (NOAH) - Menunggu Pagi (Bersamamu)
Rasanya tidak pernah jenuh aku mendengarkan
lagu ini. Lagu yang dipopulerkan oleh grup band yang dulu namanya
Peterpan tapi sekarang sudah berganti menjadi NOAH *Menunggu pagi*, tapi
selamanya yang kuingat mungkin kenangan yang pernah tercipta berkat
lagu ini. Yah, lagu ini adalah lagu tentang kisah yang dulu pernah ada.
Kisah tentang KITA yang sampai sekarang tidaklah pernah menjadi KITA
yang selama ini aku harapkan. Sebab, sampai sekarang aku masih sendiri.
Dan mungkin akan selalu sendiri menunggu pagi, menunggu mentari yang
dulu pernah kita tunggu. Mentari Pagi yang terindah yang pernah ku
songsong, yang pernah kutunggu. Mungkin karena kamu ada disebelahku.
Aku ingat dingin malam itu. Dingin yang dikombinasikan oleh semilir angin malam di sebuah pantai yang ada di pulau jawa. Aku ingat saat itu kamu duduk di depan api unggun yang sudah mulai redup. Api unggun sisa dari acara malam puncak dari acara perpisahan yang diadakan oleh kelas kita. Aku lihat saat itu dingin malam sudah mulai menyerangmu, terlihat jelas dari tingkahmu yang sibuk mencoba mendekatkan diri ke api unggun yang sebentar lagi akan habis. Berbagai cara kamu coba untuk menjadikan api itu tetap menyala. Saat itu aku hanya berani melihat itu dari kejauhan. Ingin rasanya mendekatinya, ingin rasanya menjaga agar api unggun itu tetap menyala hingga bisa selalu menghangatkan kamu. Bahkan bila ia mengizinkan aku bersedia menjadi api unggun yang menghangatkanya. Meski panas dan itu membakarku, aku rela demi memberikan kehangatan baginya. Sebab, diam-diam aku mencintainya jauh sebelum ini, diam-diam aku mencintainya meskipun selama ini dia belum mengetahuinya. Mengutip sedikit sajak dari Tuan DJoko Sapardi:
“Aku ingin Mencintaimu dengan sederhana. Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikanya abu.”
Sebab, meskipun menjadi abu. Setidaknya kayu itu bisa menerangimu, memberikan kehangatan bagimu saat kamu membutuhkan. Dan doaku saat itu aku ingin seperti itu. harapku aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Beberapa saat aku memerhatikanmu lalu keresahanmu muncul, api unggun sebentar lagi padam. Aku lihat kamu celingukan ke kiri dan kekanan. Entah itu sedang mencari kayu atau mencari orang yang mungkin bisa membantumu menyalakan kembali api itu. Timbul naluri kepahlawanan dalam hati. Ingin rasanya aku manghampirinya dan membantu menyalakan api unggun itu. Tapi, entah kenapa kaki rasanya berat. Aku malu, aku takut malah mengganggu moment asyikmu itu. Terlalu lama aku berpikir, kulihat ia sudah beranjak dari tempatnya. Sial, sudah pergi dianya. Kecewa banget, padahal justru moment seperti itu yang selama ini aku tunggu. Tapi akhirnya kuputuskan untuk mencari beberapa potong kayu dan menyalakan kembali api unggunnya.
“Dingin banget rasanya disini, Pantesan saja kamu tidak tahan, amel.” Pekik ku sendiri.
“Itulah day. Dari tadi nyariin orang yang mau bantuiin nyalain api unggun gak ada. Udah pada tidur semua.” Tiba-tiba Amel datang dan menyahutin ucapan ku tadi.
“ooppzz.. kamu datang lagi rupanya.” Balasku malu.
“ kamu merhatiin aku ya dari tadi? Bukannya bantuin nyalain apinya lagi.”
“Kan ini udah aku nyalain lagi.. hehehe”
“Aku boleh donk nebeng hangetin badan. Dingin banget.”
Aku pun mengangguk. Senang rasanya bisa duduk bersebelahan dengan kamu saat itu dan justru membuat aku malah salah tingkah.
“ Kamu kok senyum-senyum aja day? Knapa? seneng ya bisa duduk berdua sama aku”
Jlebb.. kok bisa ya kamu tahu pikiran aku. Dan hal itu semakin membuntukan pikiranku, semakin menutup erat mulutku, padahal aku sudah menyiapkan segudang gombalan yang rencananya ku pakai untuk moment seperti ini. Aaakkkk.. kok jadi tegang begini.
“aahhh.. udahlah day. Gak usah pake grogi gitu. Aku juga seneng bisa duduk disini.” Lanjutnya lagi seperti mengerti keadaanku ini. Tapi aku tidak berani menebak-nebak maksud dari ucapannya yang dia bilang seneng bisa duduk disini.
“Makasih, ya.” Ucapan spontanitas yang terlontar dari mulutku. “Haaduuuuhh, kok makasih ya..” Keluhku dalam hati. Untung tak ada reaksi yang berarti darinya. Dia hanya tersenyum manis dengan tingkahku. Uuuhhhh, nambah manis rasanya senyum kamu jika dilihat dari sedekat ini, sebab selama ini aku hanya bisa mencuri pandang senyummu dari kejauhan. Namun kali ini senyum ini bisa langsung kulihat dari jarak yang sedekat ini. Alhamdulillah banget.
“Ohh tuhan, janganlah ini cepat berlalu.” Pintaku dalam hati. Biarlah diam-diaman yang penting bisa sedekat ini sama Amel sang Primadona kelas ku.
Satu jam berlalu begitu saja. Kamu sibuk dengan lamunanmu dan aku terpaksa menikmati kegrogianku, menikmati ketidak-berkutikanku, menikmati kebisuanku, kebuntuan yang justru datang disaat momen yang teramat langka. Tapi biarlah, sejujurnya aku sudah puas. Sebab, diam-diam aku bisa merasakan bayanganku mencumbu mesra bayanganmu. Bayanganku menghangatkan bayanganmu dengan pelukan mesra. Disamping itu aku puas, memandangi segala keindahan yang terpancarkan dari wajahmu. Mungkin kamu tidak menyadarinya. Sebab, saat ini kamu sedang tenggelam bersama lamunanmu. Entah tentang pangeran berkuda yang tampan yang sewaktu-waktu bisa muncul dari laut Atau pangeran kodok yang suatu saat bisa berubah menjadi pangeran yang tampan. Whateverlah, bagiku yang penting kamu senang, aku ikut senang.
“Day, apinya udah pengen mati tuh. Gak ada yang bisa dibakar lagi apa yak?” Tiba-tiba Amel berbicara memecahkan keheningan yang lama tercipta.
“ Mmm.. kayu bakarnya udah gak ada lagi, mel”
“iiisss… masa iya. Padahal aku masih pengen duduk lama disini. Tapi dingin kalau ga ada api unggun.”
“ Mmm.. kan ada aku. Biar aku peluk. Hehe” Candaku waktu itu.
“emang pelukan kamu bisa menghangatkan, trus bisa tahan sampe pagi gak?” Tanya amel. Entah sengaja memanaskan aku atau emang memancing aku, maksud dia mengatakan itu padaku.
“Ee busyyengg deng. Jangankan menghangatkan mel, bisa membakar nih pelukan. hehe” Balasku. “Cuma kalau sampe pagi sich gak tau juga.” Lanjutku sambil langsung mencoba memeluk Amel.
“oooppppzzzz… langsung-lansung aja dia mah.” Ujar amel seraya menolak pelukanku. “Iyalah, kucing di tawarin daging, ya langsung digasrak.” lanjutnya lagi.
“hahaha.. kirain betulan pengen ngetes..” jawabku penuh perasaan malu.
“Maaf ya day. Aku gak enak kalau nanti teman-teman kita ada yang lihat.”
Aku diam seperti mengiyakan perkataannya.
“Kita cari kayu lagi yuk Day! Gak seru kalau ga ada api unggunnya.” Ajak Amel.
“kamu tunggu disini aja biar aku yang cari.” Balasku.
Aku langsung beranjak dari tempat untuk mengambil kayu bakar yang tadi sengaja aku simpan. Sebenarnya aku tadi pura-pura kehabisan kayu bakar. Berharap setidaknya ada pelukan yang menghangatkan tadi benar-benar terjadi. Hahhahaha.. Ngarep banget.
Bersama nyala api unggun itu. Kebersamaan kita pun semakin hangat. Kali ini, kita sudah saling mengeluarkan kata-kata. Cerita-cerita tentang masa kecil, tentang masa sekolah bla.. bla… blaa. Sebenarnya saat itu kantuk menyerangku. Tapi berhubung kamu belum tidur jadi kumanfaatkan waktu-waktu bersamamu saat itu.
“Kamu suka bergadang ya?” tanyaku waktu itu.
“Kadang-kadang. Tapi ya gak terlalu sering. Cuma kalau lagi nonton bola atau ngerjain tugas sekolah. Emang kenapa? kamu udah ngantuk ya.?”
“gak kenapa-kenapa, Cuma Tanya aja. Kalau aku mah susah tidur mel. Setiap malam kalau belum dengar azan subuh belum ngantuk mel.”
“Waduh… Gawat tuh. Pantesan setiap hari aku perhatiin dikelas mata kamu merah terus. Udah gitu muka pucat karena kurang tidur, mungkin.” Perkataan dari yang sedikit membanggakan. Kamu bilang kamu merhatiin aku dikelas. Oh, senangnya. Tapi, mungkin Cuma biasa saja. Saru, sebab tak jarang aku kena tegur karena sering tertidur dikelas.
“Ya gitulah mel. Susah kalau kena penyakit Insomnia, mel.” Lanjutku.
Sejenak kamu diam dan mengotak-atik Hp-mu. Dan lalu kamu memainkan lagu itu, Lagu *Menunggu Pagi* Milik Peterpan waktu itu. Sambil ditemani music itu kita terus bercerita. Dan waktupun terus berlalu.
“Loh kok dari tadi lagu itu aja yang kamu putar, mel.” tanyaku.
“Iya day. Aku suka banget sama lagu ini. Ini lagu yang sering dinyanyiin sama mantan aku..” Suaranya terputus, suasana sedih pun tiba-tiba muncul.
“Mantan kamu, trus?” tanyaku penasaran.
Sambil berteteskan airmata Kamu bercerita tentang kisah cintamu yang kandas. Inti yang bisa kutangkap dari ceritamu bahwa Mantan kamu pergi meninggalkanmu karena tewas dalam sebuah kecelakaan.
“Kamu tahu day. Waktu itu dia pulang sekitar jam 4 subuh. Dia habis manggung di sebuah cafĂ©. Waktu itu sebelum pulang diasempat telfon aku. Dia cerita, terakhir dia menyanyikan lagu ini. Dan banyak orang yang suka. Katanya, rencananya lagu ini bakal menjadi lagu wajib yang mesti dia bawakan setiap kali ada even/ festival music day. Dia menyarankan aku untuk sering-sering dengerin lagunya. Rasanya saat itu ia seperti berwasiat kepadaku. Hahaha.. wasiatnya sebuah lagu yang nyatanya menjadi lagu kenangan buat aku. Dan meski ada kenangan yang menyedihkan dibalik lagu ini namun aku suka dengan lagu ini dan selalu aku dengarkan kala rindu akan dirinya hadir di setiap sepiku.” Ujarnya lirih.
Saat itu, entah kenapa tiba-tiba tanganku menggapai pundaknya. Dia hanya diam saja dan dalam sekejap dia pun hanyut dalam pelukanku. Dan aku menikmati itu sambil mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutmu.
“Nyaman juga ya pelukan kamu.” Ujarnya polos.
Spontan karena kaget bercampur malu, aku pun menarik lenganku melepaskan pelukan itu. Tersadar dan langsung teringat perkataanmu tadi sewaktu menolak kamu menolak pelukanku.
“iiisss.. kok dilepas pelukannya. Padahal baru aja aku ngerasa nyaman.” Protes Amel dan membuat kepercayaan diriku untuk memeluknya tumbuh lagi.
Ingin rasanya bibir ini mengucapkan kalimat-kalimat cinta kepadanya. Tapi apalah daya, aku tak ingin merusak keadaan ini. Tunggulah nanti saat ada momen-momen lainnya pasti akan aku ungkapkan cinta yang selama ini ada. Kulihat wajahnya seperti menggambarkan kepuasan. Sekilas juga kulihat dimatanya ada sesuatu yang beda, mungkinkah itu Cinta Untukku.? Aku coba menafikan rasa itu saat itu. Mungkin karena tidak terlalu yakin dan takut rasa itu tidak berbalas. Dan saat itu aku lebih memilih untuk menjadi teman bicara yang baik di waktu yang baik juga. Dan dalam sekejab Mentari pagi pun menyingsing.
“Indah banget ya mentarinya, day.” Ujar Amel yang langsung aku aminin.
Begitulah waktu kita melewatkan malam itu. Singkat, tapi cukup padat bila tuk dikisahkan.
Singkat cerita. Setelah ku baca dengan seksama buku catatan mu itu. Aku melihat bahwa pasca kejadian yang ku sebut “Menunggu Pagi Bersamamu” Itu, ternyata menumbuhkan CINTA yang sebelumnya tidak pernah ada bagi MU.
“Ternyata Pelukanmu itu Dahsyat Enday. Pelukan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Pelukan itu yang membuat aku jatuh cinta, pelukan yang menghangatkan, persis seperti yang kamu bilang. Pelukan itu menenangkan jiwa. Pelukan yang ternyata mengangenkan aku selama ini. Nyaman sekali waktu itu day. Aku berharap Aku bisa merasakan pelukan itu Lagi, sebelum ajal menjemput….” Sepenggal tulisan yang kamu tulis di buku itu. Yang membuktikan betapa kejadian malam itu berpengaruh dalam hidupmu.
“Aku tuh nunggu kamu Nday.. Nunggu.. Setiap hari, setiap bunyi dering telepon aku selalu berharap itu dari kamu. Setiap ada ketukan pintu di rumahku, aku sesegera mungkin membukakannya dan berharap itu kamu yang datang. Beberapa kali aku coba datang ke sekolah dan berharap bisa bertemu dengan kamu. Beberapa kali juga aku mencoba menanyakan perihal kamu kepada beberapa teman sekolah kita, mereka semua bilang mereka loss kontak denganmu. Ketika ku tanya tentang rumahmu pun nihil hasilnya. Tak ada yang tahu tentang kamu. Bagiku kamu Misterius banget ya, persis se-misteriusnya CINTA yang hadir padaku.” Sepenggal lagi kisah yang kau torehkan di buku catatan itu.
Doaku akan selalu teriring bersama setiap kesedihan yang timbul sebab teringat akan kamu. Teringat akan kisah di balik lagu ini. Terima kasih untuk kisah yang pernah tercipta. Terima kasih karena kamu mau mencintaiku.
Aku ingat dingin malam itu. Dingin yang dikombinasikan oleh semilir angin malam di sebuah pantai yang ada di pulau jawa. Aku ingat saat itu kamu duduk di depan api unggun yang sudah mulai redup. Api unggun sisa dari acara malam puncak dari acara perpisahan yang diadakan oleh kelas kita. Aku lihat saat itu dingin malam sudah mulai menyerangmu, terlihat jelas dari tingkahmu yang sibuk mencoba mendekatkan diri ke api unggun yang sebentar lagi akan habis. Berbagai cara kamu coba untuk menjadikan api itu tetap menyala. Saat itu aku hanya berani melihat itu dari kejauhan. Ingin rasanya mendekatinya, ingin rasanya menjaga agar api unggun itu tetap menyala hingga bisa selalu menghangatkan kamu. Bahkan bila ia mengizinkan aku bersedia menjadi api unggun yang menghangatkanya. Meski panas dan itu membakarku, aku rela demi memberikan kehangatan baginya. Sebab, diam-diam aku mencintainya jauh sebelum ini, diam-diam aku mencintainya meskipun selama ini dia belum mengetahuinya. Mengutip sedikit sajak dari Tuan DJoko Sapardi:
“Aku ingin Mencintaimu dengan sederhana. Seperti kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikanya abu.”
Sebab, meskipun menjadi abu. Setidaknya kayu itu bisa menerangimu, memberikan kehangatan bagimu saat kamu membutuhkan. Dan doaku saat itu aku ingin seperti itu. harapku aku ingin mencintaimu dengan sederhana.
Beberapa saat aku memerhatikanmu lalu keresahanmu muncul, api unggun sebentar lagi padam. Aku lihat kamu celingukan ke kiri dan kekanan. Entah itu sedang mencari kayu atau mencari orang yang mungkin bisa membantumu menyalakan kembali api itu. Timbul naluri kepahlawanan dalam hati. Ingin rasanya aku manghampirinya dan membantu menyalakan api unggun itu. Tapi, entah kenapa kaki rasanya berat. Aku malu, aku takut malah mengganggu moment asyikmu itu. Terlalu lama aku berpikir, kulihat ia sudah beranjak dari tempatnya. Sial, sudah pergi dianya. Kecewa banget, padahal justru moment seperti itu yang selama ini aku tunggu. Tapi akhirnya kuputuskan untuk mencari beberapa potong kayu dan menyalakan kembali api unggunnya.
“Dingin banget rasanya disini, Pantesan saja kamu tidak tahan, amel.” Pekik ku sendiri.
“Itulah day. Dari tadi nyariin orang yang mau bantuiin nyalain api unggun gak ada. Udah pada tidur semua.” Tiba-tiba Amel datang dan menyahutin ucapan ku tadi.
“ooppzz.. kamu datang lagi rupanya.” Balasku malu.
“ kamu merhatiin aku ya dari tadi? Bukannya bantuin nyalain apinya lagi.”
“Kan ini udah aku nyalain lagi.. hehehe”
“Aku boleh donk nebeng hangetin badan. Dingin banget.”
Aku pun mengangguk. Senang rasanya bisa duduk bersebelahan dengan kamu saat itu dan justru membuat aku malah salah tingkah.
“ Kamu kok senyum-senyum aja day? Knapa? seneng ya bisa duduk berdua sama aku”
Jlebb.. kok bisa ya kamu tahu pikiran aku. Dan hal itu semakin membuntukan pikiranku, semakin menutup erat mulutku, padahal aku sudah menyiapkan segudang gombalan yang rencananya ku pakai untuk moment seperti ini. Aaakkkk.. kok jadi tegang begini.
“aahhh.. udahlah day. Gak usah pake grogi gitu. Aku juga seneng bisa duduk disini.” Lanjutnya lagi seperti mengerti keadaanku ini. Tapi aku tidak berani menebak-nebak maksud dari ucapannya yang dia bilang seneng bisa duduk disini.
“Makasih, ya.” Ucapan spontanitas yang terlontar dari mulutku. “Haaduuuuhh, kok makasih ya..” Keluhku dalam hati. Untung tak ada reaksi yang berarti darinya. Dia hanya tersenyum manis dengan tingkahku. Uuuhhhh, nambah manis rasanya senyum kamu jika dilihat dari sedekat ini, sebab selama ini aku hanya bisa mencuri pandang senyummu dari kejauhan. Namun kali ini senyum ini bisa langsung kulihat dari jarak yang sedekat ini. Alhamdulillah banget.
“Ohh tuhan, janganlah ini cepat berlalu.” Pintaku dalam hati. Biarlah diam-diaman yang penting bisa sedekat ini sama Amel sang Primadona kelas ku.
Satu jam berlalu begitu saja. Kamu sibuk dengan lamunanmu dan aku terpaksa menikmati kegrogianku, menikmati ketidak-berkutikanku, menikmati kebisuanku, kebuntuan yang justru datang disaat momen yang teramat langka. Tapi biarlah, sejujurnya aku sudah puas. Sebab, diam-diam aku bisa merasakan bayanganku mencumbu mesra bayanganmu. Bayanganku menghangatkan bayanganmu dengan pelukan mesra. Disamping itu aku puas, memandangi segala keindahan yang terpancarkan dari wajahmu. Mungkin kamu tidak menyadarinya. Sebab, saat ini kamu sedang tenggelam bersama lamunanmu. Entah tentang pangeran berkuda yang tampan yang sewaktu-waktu bisa muncul dari laut Atau pangeran kodok yang suatu saat bisa berubah menjadi pangeran yang tampan. Whateverlah, bagiku yang penting kamu senang, aku ikut senang.
“Day, apinya udah pengen mati tuh. Gak ada yang bisa dibakar lagi apa yak?” Tiba-tiba Amel berbicara memecahkan keheningan yang lama tercipta.
“ Mmm.. kayu bakarnya udah gak ada lagi, mel”
“iiisss… masa iya. Padahal aku masih pengen duduk lama disini. Tapi dingin kalau ga ada api unggun.”
“ Mmm.. kan ada aku. Biar aku peluk. Hehe” Candaku waktu itu.
“emang pelukan kamu bisa menghangatkan, trus bisa tahan sampe pagi gak?” Tanya amel. Entah sengaja memanaskan aku atau emang memancing aku, maksud dia mengatakan itu padaku.
“Ee busyyengg deng. Jangankan menghangatkan mel, bisa membakar nih pelukan. hehe” Balasku. “Cuma kalau sampe pagi sich gak tau juga.” Lanjutku sambil langsung mencoba memeluk Amel.
“oooppppzzzz… langsung-lansung aja dia mah.” Ujar amel seraya menolak pelukanku. “Iyalah, kucing di tawarin daging, ya langsung digasrak.” lanjutnya lagi.
“hahaha.. kirain betulan pengen ngetes..” jawabku penuh perasaan malu.
“Maaf ya day. Aku gak enak kalau nanti teman-teman kita ada yang lihat.”
Aku diam seperti mengiyakan perkataannya.
“Kita cari kayu lagi yuk Day! Gak seru kalau ga ada api unggunnya.” Ajak Amel.
“kamu tunggu disini aja biar aku yang cari.” Balasku.
Aku langsung beranjak dari tempat untuk mengambil kayu bakar yang tadi sengaja aku simpan. Sebenarnya aku tadi pura-pura kehabisan kayu bakar. Berharap setidaknya ada pelukan yang menghangatkan tadi benar-benar terjadi. Hahhahaha.. Ngarep banget.
Bersama nyala api unggun itu. Kebersamaan kita pun semakin hangat. Kali ini, kita sudah saling mengeluarkan kata-kata. Cerita-cerita tentang masa kecil, tentang masa sekolah bla.. bla… blaa. Sebenarnya saat itu kantuk menyerangku. Tapi berhubung kamu belum tidur jadi kumanfaatkan waktu-waktu bersamamu saat itu.
“Kamu suka bergadang ya?” tanyaku waktu itu.
“Kadang-kadang. Tapi ya gak terlalu sering. Cuma kalau lagi nonton bola atau ngerjain tugas sekolah. Emang kenapa? kamu udah ngantuk ya.?”
“gak kenapa-kenapa, Cuma Tanya aja. Kalau aku mah susah tidur mel. Setiap malam kalau belum dengar azan subuh belum ngantuk mel.”
“Waduh… Gawat tuh. Pantesan setiap hari aku perhatiin dikelas mata kamu merah terus. Udah gitu muka pucat karena kurang tidur, mungkin.” Perkataan dari yang sedikit membanggakan. Kamu bilang kamu merhatiin aku dikelas. Oh, senangnya. Tapi, mungkin Cuma biasa saja. Saru, sebab tak jarang aku kena tegur karena sering tertidur dikelas.
“Ya gitulah mel. Susah kalau kena penyakit Insomnia, mel.” Lanjutku.
Sejenak kamu diam dan mengotak-atik Hp-mu. Dan lalu kamu memainkan lagu itu, Lagu *Menunggu Pagi* Milik Peterpan waktu itu. Sambil ditemani music itu kita terus bercerita. Dan waktupun terus berlalu.
“Loh kok dari tadi lagu itu aja yang kamu putar, mel.” tanyaku.
“Iya day. Aku suka banget sama lagu ini. Ini lagu yang sering dinyanyiin sama mantan aku..” Suaranya terputus, suasana sedih pun tiba-tiba muncul.
“Mantan kamu, trus?” tanyaku penasaran.
Sambil berteteskan airmata Kamu bercerita tentang kisah cintamu yang kandas. Inti yang bisa kutangkap dari ceritamu bahwa Mantan kamu pergi meninggalkanmu karena tewas dalam sebuah kecelakaan.
“Kamu tahu day. Waktu itu dia pulang sekitar jam 4 subuh. Dia habis manggung di sebuah cafĂ©. Waktu itu sebelum pulang diasempat telfon aku. Dia cerita, terakhir dia menyanyikan lagu ini. Dan banyak orang yang suka. Katanya, rencananya lagu ini bakal menjadi lagu wajib yang mesti dia bawakan setiap kali ada even/ festival music day. Dia menyarankan aku untuk sering-sering dengerin lagunya. Rasanya saat itu ia seperti berwasiat kepadaku. Hahaha.. wasiatnya sebuah lagu yang nyatanya menjadi lagu kenangan buat aku. Dan meski ada kenangan yang menyedihkan dibalik lagu ini namun aku suka dengan lagu ini dan selalu aku dengarkan kala rindu akan dirinya hadir di setiap sepiku.” Ujarnya lirih.
Saat itu, entah kenapa tiba-tiba tanganku menggapai pundaknya. Dia hanya diam saja dan dalam sekejap dia pun hanyut dalam pelukanku. Dan aku menikmati itu sambil mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulutmu.
“Nyaman juga ya pelukan kamu.” Ujarnya polos.
Spontan karena kaget bercampur malu, aku pun menarik lenganku melepaskan pelukan itu. Tersadar dan langsung teringat perkataanmu tadi sewaktu menolak kamu menolak pelukanku.
“iiisss.. kok dilepas pelukannya. Padahal baru aja aku ngerasa nyaman.” Protes Amel dan membuat kepercayaan diriku untuk memeluknya tumbuh lagi.
Ingin rasanya bibir ini mengucapkan kalimat-kalimat cinta kepadanya. Tapi apalah daya, aku tak ingin merusak keadaan ini. Tunggulah nanti saat ada momen-momen lainnya pasti akan aku ungkapkan cinta yang selama ini ada. Kulihat wajahnya seperti menggambarkan kepuasan. Sekilas juga kulihat dimatanya ada sesuatu yang beda, mungkinkah itu Cinta Untukku.? Aku coba menafikan rasa itu saat itu. Mungkin karena tidak terlalu yakin dan takut rasa itu tidak berbalas. Dan saat itu aku lebih memilih untuk menjadi teman bicara yang baik di waktu yang baik juga. Dan dalam sekejab Mentari pagi pun menyingsing.
“Indah banget ya mentarinya, day.” Ujar Amel yang langsung aku aminin.
Begitulah waktu kita melewatkan malam itu. Singkat, tapi cukup padat bila tuk dikisahkan.
Singkat cerita. Setelah ku baca dengan seksama buku catatan mu itu. Aku melihat bahwa pasca kejadian yang ku sebut “Menunggu Pagi Bersamamu” Itu, ternyata menumbuhkan CINTA yang sebelumnya tidak pernah ada bagi MU.
“Ternyata Pelukanmu itu Dahsyat Enday. Pelukan yang belum pernah aku rasakan selama ini. Pelukan itu yang membuat aku jatuh cinta, pelukan yang menghangatkan, persis seperti yang kamu bilang. Pelukan itu menenangkan jiwa. Pelukan yang ternyata mengangenkan aku selama ini. Nyaman sekali waktu itu day. Aku berharap Aku bisa merasakan pelukan itu Lagi, sebelum ajal menjemput….” Sepenggal tulisan yang kamu tulis di buku itu. Yang membuktikan betapa kejadian malam itu berpengaruh dalam hidupmu.
“Aku tuh nunggu kamu Nday.. Nunggu.. Setiap hari, setiap bunyi dering telepon aku selalu berharap itu dari kamu. Setiap ada ketukan pintu di rumahku, aku sesegera mungkin membukakannya dan berharap itu kamu yang datang. Beberapa kali aku coba datang ke sekolah dan berharap bisa bertemu dengan kamu. Beberapa kali juga aku mencoba menanyakan perihal kamu kepada beberapa teman sekolah kita, mereka semua bilang mereka loss kontak denganmu. Ketika ku tanya tentang rumahmu pun nihil hasilnya. Tak ada yang tahu tentang kamu. Bagiku kamu Misterius banget ya, persis se-misteriusnya CINTA yang hadir padaku.” Sepenggal lagi kisah yang kau torehkan di buku catatan itu.
Dear Diery, hai juga Enday yang saat ini masih belum aku bisa
temui.
Mungkin ini tulisan aku yang terakhir. Sebab rasanya kok jadi
percuma, aku tumpahkan semua yang aku rasakan disini sedangkan aku tidak pernah
tahu pasti kamu akan membaca ini. Dan juga, aku tak pernah tahu pasti apakah
disana kamu memikirkan aku. Tapi setidaknya aku ingin Menyampaikan berita
tentang perasaanku bahwa AKU SANGAT MENCINTAI KAMU. Aku sadar umurku tidaklah
panjang. Setelah Vonis Dokter yang merawat aku, yang menyatakan bahwa
kemungkinan kecil aku bisa bertahan dengan penyakit Kanker Otak yang sudah
masuk ke stadium 4. Dokter itu bilang katanya aku harus kurangin mikir-mikir
berat. Bagaimana mungkin? Sedangkan yang selama ini aku pikirkan hanya kamu.
Lalu haruskah aku berhenti mikirin kamu? Enggak mungkin. Aku rela kok harus
pergi ninggalin semua. Aku rela, asalkan aku masih bisa terus bersama kamu.
Meskipun hanya dengan memikirkan kamu. Meskipun hanya membayangkan kehadiranmu,
mengkhayalkan kamu datang dan memeluk aku. Oia, hangat pelukan kamu masih ada
loh sampai sekarang. Padahal udah berkali-kali aku coba melupakannya tapi kok
gak bisa ya? Sebegitu dahsyatnya aku rasakan Nday.
Lewat tulisan ini, minimal aku ingin kamu tahu aku merindukanmu
Enday. Aku rindu kala kamu memeluk aku. Nyamannya terasa sampai sekarang.
Mungkin, berkat itulah saat ini aku masih bisa tegar, meskipun aku tahu
sebentar lagi ajal akan menjemput dan kamu masih juga belum datang menemuiku.
Tak mengapa bagiku, day. Mungkin, ada baiknya juga kamu tak mengetahui tentang
penyakitku ini. Jadi setidaknya tidak ada beban yang mungkin memberatkan
kepergian aku Day. Oia, belakangan ini aku suka bergadang day, dari beranda di
kamarku aku sering menunggu pagi day, sendiri sambil mendengarkan lagu ini,
day. Lagu yang pernah kita dengarkan waktu itu. Tapi kok, rasanya lagu itu
semakin sedih yah kedengarannya. Mungkin karena rindu kamu kali, yak. Bahkan,
Mentari pun tak seindah waktu itu, day. Oh God…!! I MISS U SO MUCH day.
Udah dulu ya day. Ternyata buku ini pun bahkan tak mampu
menggambarkan bagaimana rasanya perasaan aku ke kamu. Lagian tangan aku pun
kayanya udah tak mampu nulis banyak-banyak. Lemas banget day. Tapi, tenang aja,
mungkin setelah ini semua lewat aku ingin minta tolong kepada orangtua ku untuk
mencari keberadaanmu dan menyerahkan buku ini ke kamu. Aku titip cinta aku ke
kamu lewat buku ini. Tapi kalau memang berat untuk kamu nerima kenyataan ini
kamu bisa kok buang buku ini. Tapi aku mohon satu hal cinta aku jangan ikut di
buang yah.
Oia Satu Lagi. Dibawah ini segaja aku tulis lirik lagu ini. Lagu
NOAH – Menunggu pagi untuk kamu. Kalau kamu ingin mengenangku. Kamu dengarkan
aja lagunya. Selama ini aku juga begitu kok. Selamat Tinggal Enday.
Seketika
tumpah pula airmata yang sedari tadi tertahan, mel. Selepas aku membaca
tulisanmu yang terakhir itu. Mungkin ini kali pertama aku menangis. Menangis
karena kehilangan, mungkin juga menangis karena penyesalan sebab tak mampu
katakan semua perasaan yang selama ini aku pendam.
“
Apa yang terjadi dalam hati ku…
Ku masih disini menunggu pagi…
Seakan letih tak menggangguku..
Ku masih terjaga menunggu pagi..
Entah kapan malam berhenti..
Teman aku masih menunggu.. pagi..”
Sebait
itulah yang dapat aku nyanyikan Mel, Hanya sebait itu. Tapi percayalah sampai
kini, aku masih menyimpan buku itu. Aku juga masih selalu mendengarkan lagu
itu, seperti pinta kamu.
RIP To Amelia
Doaku akan selalu teriring bersama setiap kesedihan yang timbul sebab teringat akan kamu. Teringat akan kisah di balik lagu ini. Terima kasih untuk kisah yang pernah tercipta. Terima kasih karena kamu mau mencintaiku.